Senin, 08 November 2010

Dapur umum, Relawan, pengungsi Letusan Merapi di UPN

Ada pengungsi minta bikinin Teh hangat, DU siap sedia.
Kemarin tanggal 6 November 2010 saya bertugas sebagai relawan dapur umum posko pengungsi Letusan Merapi di UPN "Veteran" Yogyakarta. Saya melihat beberapa hal yang lucu akibat kurangnya koordinasi para relawan. Pada hari pertama, ketika pengungsi masih berjumlah sekitar 800 Orang, jumlah makanan yang ada sangat banyak berlebih. yaitu sekitar 2500 bungkus, untuk makan siang. pada hari ketiga. Pengungsi sudah bertambah menjadi 1800 Orang lebih. Ketika makan pagi, Relawan dapur umum hanya mampu menyediakan 830 Bgkus nasi. Sisanya dicari secara terburu-buru oleh relawan bagian logistik. Pada siang hari, dapur umum hanya mampu menyediakan sekitar 400-600 bungkus, sisanya ditanggulangi oleh bagian logistik.

Pada pagi hari, dapur umum kekurangan alat dan tenaga untuk memasak, tetapi pada siang hari dan sore hari alat tetap kurang. tetapi tenaga tambahan membludak sampai-sampai banyak relawan yang berubah jadi pengungsi (maksudnya tidak kerja). Pembagian relawan per-shift tidak berjalan lancar.

Bagian logistik juga tidak mendata dan mengkoordinir logistik (makanan jadi/nasi) yang masuk dengan baik, sehingga kadang logistik menumpuk, kadang kurang. Bagian lain yang mengurusi penerimaan pengungsi juga tidak memperhitungkan kekuatan dapur umum. Bagian dapur umum, terutama yang bertugas memasak nasi dan air, pada pagi hari kemarin itu hanya memiliki tenaga 6 Orang dan 4 buah alat. Satu untuk merebus air, 2 untuk mengukus nasi, dan satu untuk memasak nasi sebelum di kukus. 2 alat diketahui bocor dan tidak maksimal digunakan. sementara nasi yang harus dipenuhi sebenarnya adalah sekitar 1900-an bungkus untuk sekali makan pagi. Hal itu sudah dilaporkan ke koordinator pusat, dan koordinator dapur umum. Tetapi penanganannya sangat lambat, sehingga memasak nasi juga jadi tidak maksimal.

Masak nasi dengan peralatan seadanya menjelang bantuan dari TNI
Pembagia relawan juga sangat susah. Kadang relawan membludak, kadang sangat kurang. Banyak juga yang hanya cari muka. Pada hari pertama, Dapur umum untuk posko di UPN terpisah menjadi 2. satu di Babarsari, satu lagi di Condong Catur. Sangat merepotkan...!!! Nasi yang telah amtang harus diangkut ke Babarsari untuk di bungkus dan di beri lauk-sayur. kemudian dibawa kembali ke Condong Catur.

Sorry...Sorry...
Itu tadi Intermezo soal relawan dan logistik.
Masak air, ada yang nyiapin kayu bakar, dll
Sebenarnya tadi saya ingin membahas keadaan pengungsi di Jogja (khususnya di UPN) dengan pengungsi di Mentawai. Menurutku beruntung sekali pengungsi yang di UPN. Pada hari mereka datang, hari itu juga makanan tersedia. Makan teratur (walaupun kadang agak telat) 3 kali sehari, bisa minum kopi, teh, susu, makan roti, memasak mie, bahkan sampai memandikan anak kecil dengan air hangat. Tapi ada juga pengungsi yang tidak sabaran (mungkin karena kondisi psikologis atau mungkin memang sifat orangnya seperti itu) sehingga menganggap posko pengungsian itu seperti hotel. Semua harus tersedia dan bisa diminta ke resepsionist. Hal ini membuat jengkel beberapa relawan.

  
Perbandingan dengan pengungsi di Mentawai

Sebelum dan setelah kerja, Relawan ini melakukan breafing
Kita bandingkan dengan kondisi d Mentawai. Bantuan baru bisa didistribusikan pada hari ke-6 pasca Tsunami, dan itupun distribusinya tidak merata dan menumpuk. Jangan harap mau bikin kopi susu yang selalu hangat. Makan saja selalu mie dan mie, yang kata PMI di berita "bisa membuat usus mereka jebol". Dalam kondisi yang jauh lebih baik daripada pengungsi di Mentawai ini, Pengungsi di UPN masih saja berebut ketika ada pembagian sarung. Kebanyakan pengungsi memang memikirkan diri mereka sendiri. Sangat berbeda dengan cerita di Jerman, ketika Negara mereka luluh lantak akibat perang dunia ke-2. Mereka bahu membahu dan saling bantu.Saya tidak meyalahkan pengungsi, relawan, ataupun Merapi yang meletus. Saya hanya prihatin saja dengan masyarakat kita. Apa benar kita berjiwa gotong-royong? Kok dalam kondisi memprihatinkan saja kita bisa saling tidak peduli dan meikirkan diri sendiri?

Tetapi tak dapat dipungkiri, kondisi pengungsi dimana-mana ya sama. Psikis dan mental mereka sedang tidak stabil. Dan mereka menjadi lebih sensitif dari biasanya. Mereka menjadi lebih individualis itu hal biasa.

Aku curiga dengan Negara dan Bangsa ini. Yang katanya Negara timur yang memiliki adat, sopan-santun atau ciri khas ketimuran yang mulia. Jika dilihat seperti fenomena sekarang, malah sepertinya tidak memiliki moral, etika dan solidaritas.

1 komentar: